Archive for the ‘Umum’ Category

Manajemen Talenta Terdisrupsi

Monday, September 9th, 2019

Manajemen Talenta Terdisrupsi.

Indonesia saat ini (Pemerintah saat ini) mengangkat isu manajemen sumber daya manusia yang maju untuk mendukung kemajuan Indonesia. Manajemen SDM atau talenta memang tidak mudah dan memerlukan pola pikir yang berbeda. Ada beberapa isu menarik untuk keperluan manajemen talenta ini, dalam materi ini saya menyoroti beberapa poin penting sebagai berikut

  1. Kebutuhan SDM Masa Depan
  2. Deep Problem : Perubahan paradigma dari Human Resource menjadi Human Asset dan menjadi Human Capital
  3. Kebutuhan Industri dengan SDM berkemampuan Data, Cloud/Teknologi dan Analytic
  4. Akuntan “Engineer” , shifting cara berfikir dari proses klerikal menjadi artificial intelligence

Gemastik XII: Memenangkan Kompetisi dengan Elegan

Tuesday, August 13th, 2019

Berikut adalah materi yang saya sampaikan dalam kegiatan persiapan Gemastik XII bagi kontingen UGM, meski tidak menutup kemungkinan bagi PTN/PTS lainnya…

tautan pada link berikut ini.

Tertampar dan terbangun

Thursday, August 1st, 2019

Tertampar …

Perhatian catatan kaki pada slide presentasi di gambar ini….

Ada yang tahu hal yang menarik dari gambar ini? 
Foto ini saya ambil hari ini di konferensi ICA ITB 2019 di Bandung. Pada sesi presentasi paralel yang saya ikuti, setelah 2 atau 3 presenter setelah saya mereka maju ke depan. Mempresentasikan project mereka tentang alat deteksi gempa yg ditempatkan diatas air laut dgn memanfaatkan gelombang laut akibat gempa u mendeteksi gempanya. Mereka dibimbing salah satu profesor di universitas tertentu…

Saya merasa terbangun dan tertampar, teenyata mereka presentasi di forum konferensi internasional dgn index ieeexplore mempresentasikan project science high school mereka…dan baru saja saya menulis curhatan tentang pro kontra rektor dan dosen asing di mardhani.staff.ugm.ac.id yang mengangkat integratif kurikulum u bidang science dan vokasional.

Adik-adik ini menginspirasi dan mencambuk….konferensi internasional, project ilmiah dilevel manapun bisa diproyeksikan u publikasi internasional tidak harus jd mahasiswa dulu…

Next, ayo adik-adik smp, sma dan smk kita juga pasti bisa…apalagi mahasiswa …

Mengubah Arah dari Menggunakan menjadi Membuat

Thursday, August 1st, 2019

Saya sebenarnya mulai tidak nyaman dengan beberapa situasi ketika mahasiswa melakukan presentasi thesis atau skripsi, publikasi ilmiah dan lainnya mendapat tanggapan kurang baik atau tidak nyaman/pas dari penguji dan pendengarnya (meski ini hak asasi) hanya karena dianggap tidak sesuai dengan bidang keilmuan atau biasanya yang diriset. beberapa kasus memang ada penelitian yang “salah kamar”, misalnya risetnya tentang hardware tapi ditampilkan sangat hardware sekali sehingga kurang ilmu komputernya misalnya. Tapi ada juga melakukan riset yang breaktrough tapi karena kurang tahunya landscapenya peneliti lain menganggap itu “salah kamar” kembali. Ada kekhawatiran saya beberapa poin:

  1. Para peneliti (baca: penguji, penilai dan sejenisnya) terlalu asyik dengan dunianya sendiri sehingga menganggap dunianya yang paling pas, parahnya menjadikan sudut pandangnya paling benar, sehingga menutup kemungkinan-kemungkinan yang lainnya.
  2. Tidak updatenya pemahaman dan pengetahuan tentang teknologi dan sejenisnya diluar sana yang tidak ditangkap dan dipelajari sehingga sesuatu yang baru menjadi asing
  3. Ini paling parah menurut saya, ketika penelitian hanya sekedar menggunakan library, services dan sejenisnya, tapi tidak mendorong untuk membuat sesuatu meski sederhana.

dari minimal ketiga poin diatas, saya melihat poin ke 3 sebagai “deep problem”nya. Kita makin menipis sense dan kemauan menuju “creating something”, parah nya lagi tidak terhargainya jerih payah membuat sesuatu meski sederhana, iya karena hanya sederhana saja…Efeknya berulang-ulang tema-tema penelitian di skripsi, thesis dan disertasi berputar-putar pada pembahasan yang itu-itu saja, perulangan dan tanpa arah. Apalagi kemudian hanya di push untuk cepat lulus semata.

Terus bagaimana selanjutnya…

Saya ada pemikiran begini

  1. saatnya setiap skripsi, thesis dan disertasi (apalagi ini) memberikan porsi pada parameter “creating something”
  2. Opsi menggunakan atau mengimplementasikan diijinkan dengan asumsi kompleksitas variabel data yang kompleks misalnya atau komparasi dengan metode yang ada lainnya
  3. kedua poin diatas bisa dilakukan dengan catatan setiap penelitian atau project punya roadmap atau peta jalan
  4. kemudian di manage dengan manajemen riset integratif dari s1-s2 dan s3
  5. bagus lagi lab riset berbasis personal, misalnya Lab Riset Mardhani (karena mengaungkan riset fokus spesifik, terinspirasi di Jepang) dan sejenisnya…ops ini narsis dihiraukan saja
  6. integrasikan dengan materi kuliah yang support ke riset
  7. aktivitas mahasiswa berbasis lab yang massive dan kreatif
  8. jadikan lab riset co-working spcace

kedelapan poin diatas sedang saya usahakan terjadi di lab kami di skj.mipa.ugm.ac.id

Pro dan Kontra dari Perguruan Tinggi, Rektor dan Dosen Asing

Thursday, August 1st, 2019

Saya pikir sudah cukup lama sudah ada semacam perdebatan dan perbedaan sudut pandang adanya ide, wacana, usulan dan sejenisnya dari berdirinya perguruan tinggi, kemudian Rektor dan dosen asing untuk ditanam dan berkarya di Indonesia. Bagaimana sebaiknya memandang dan menimbangnya?

Tanpa mengalihkan bahwa pasti ada pertimbangan serius sampai ada ide dan wacana ini, yang menurut saya ada beberapa hal yang mengusik: (1) masih rendahnya posisi-posisi perguruan tinggi di Indonesia pada level global, (2) kurang kompetitifnya publikasi atau hasil pemikiran yang dihasilkan dosen dan perguruan tinggi dari jumlah sitasi dan lainnya, (3) masih seretnya daya serap lulusan perguruan tinggi pada dunia kerja. Tapi ini baru aspek alasan formal, mungkin juga ada alasan informasi misalnya (1) gensi besar kita sebagai bangsa Indonesia yang mulai tersalip beberapa impresifnya univ-univ negara tetangga yang masuk jajaran top sekian dunia, (2) perguruan tinggi di Indonesia yang masih bertahan dengan gaya “old fashion” nya (baca: masih selfish dengan areanya sendiri, minim kolaborasi dan terbuka, dan senioritas yang mengakar sangat kuat), (3) tercampur aduknya urusan penelitian dan pengabdian masyarakat dengan hal-hal yang sangat administratif sampai terancam pajak yang siginifikan.

Saya melihat minimal ada 4 pihak yang terlibat dalam situasi ini yaitu pemerintah (dalam hal ini kemenristek DIKTI), perguruan tinggi, masyarakat dan industri. Pemerintah tampaknya kurang konsisten melihat posisi perguruan tinggi, inginnya semuanya “hangabehi”, pokoknya tempat mencetak lulusan keren, penelitian bagus, mendatangkan uang, ditarik pajak seperti perusahaan, dan disalahkan jika tidak mencipkan masyarakat yang baik. Kemudian Pemerintah membuat aturan main yang bermacam dan berubah, untuk urusan kenaikan pangkat, dan urusan-urusan formal lainnya. Tata kelola universitas berubah menjadi administrative centris yang akhirnya memposisikan dosen pada posisi supporting saat ini (baca : apa-apa diusahakan sendiri…dari administrasi sd teknis, bahkan terkadang nyapu lab riset dan sejenisnya…). Perguruan tinggi kita juga jadi takut bermimpi besar mengembangkan keilmuan dan riset yang futuristik semacam di lembaga-lembaga riset dunia. yang penting ada penelitian dan kegiatan tri dharma sudah cukup.

Masyarakat juga menganggap perguruan tinggi hanya sisi prestige untuk mengkuliahkan putra putrinya saja, harapannya lulus kuliah dan dapat kerja yang baik…tidak salah. Tapi sejatinya seperti level pendidikan lainnya, perguruan tinggi ini kawah candradimuka menempa nasionalisme, kemandirian, survival, attitiude anak besar untuk maju tak gentar di dunia kerja yang liar. Finally kecenderungan orang tua mulai berlaku seperti mengurusi sekolah anaknya sangat terasa…dari mengatur sks dan matkul yang mau diambil….(serius ini terjadi benar).

Perguruan tinggi kita juga tampaknya gitu-gitu saja, yang bernama besar menikmati kenyamanan nama besarntya, dan yang lain berubah mengikuti hukum pasar untuk menaikan jumlah mahasiswa. Tidak salah sebenarnya, tapi perguruan tinggi yang menjadi organisasi yang membuka cakrawala baru, menumbuhkan budaya pendidikan tinggi dan menjadi inspirasi msayarakat menjadi tidak terasa. serasa menjadi menara gading yang indah di lihat tapi tidak terasa…

Industri juga sudah skeptis saya pikir dengan perguruan tinggi, dilihat hanya sebagai sumber talent atau tenaga kerja semata. menyalahkan perguruan tinggi jika tidak ada yang mau melamar di perusahaanya dan cuci tangan jika ada sesuatu setelahnya. Gap materi dan kompetensi ya hanya jadi jargon untuk seminar, sampai sekarang usaha menjembatani atau menyempitkan gap ya hanya lipsing saja…

Jadi bagaimana kedepan melihat situasi ini, saya coba mengusulkan terbuka (entah dibaca pihak yang berwenang atau tidak,…)

  1. Struktur pendidikan kita ini tampaknya perlu di lompatkan beberapa tahun kedepan. Maksudnya sudah saatnya kita melihat pola penjejangan kita ternyata tidak kontinue…seperti anak tangga yang terlepas satu sama lain. Solusinya, semua level pendidikan duduk bersama dan menyusun tangga pendidikan yang menuju puncak. Bagaimana jika kita adaptasi pendekatan integrated curriculum. Kita cukup menyepakati adanya dua track jalur akademis/scientist atau vokasional. dari awal sudah harus jelas track dan akan jadi di masa depan.
  2. Sistem zonasi pure nya bagus menurut saya, tinggal implementation strategy-nya. zonasi yang dimaksud menurut saya bukan based on jarak atau nilai ujian nya. Bagaimana jika zonasi berbasis kompetensi berjenjang. Kita buat kluster berbasis pulau (karena kita negara kepulauan). ada kluster sumatra, jawa, kalimantan, sulawesi, papua, bali dan nusa tenggara. setiap kluster punya jenjang lengkap, TK, SD, SMP, SMA/SMK dan perguruan tinggi baik u jalur scientist dan vokasional. Buat model pertukaran guru, dosen untuk saling berbagi kemampuan dan keahlian dalam waktu tertentu , yg tidak panjang tapi cukup u proses transfer knowledge.
  3. Set paradigma pendidikan ke arah masa depan. Kita perlu menyepakati arah atau future poin pendidikan kita kemana…let say berbasis agama (pesantren), kewirausahaan, ilmuan, services atau industrial. Saya pikir kita sudah cukup di beberapa line ini, tapi belum diperkuat dengan sangat. saya membayangkan, kalau pesantren di kombinasi dengan TIK, kita sudah punya environment inkubasi dedicated yang luar biasa.

kalau asumsinya 3 hal diatas, masih butuhkah rektor dan dosen asing. sebenarnya hal ini wajar saya, kita-kita dosen di Indonesia yang kadang dilihat sebelah mata oleh universitas, malah sering dapat tawaran dari profesorship atau research program berkedok postdoc untuk stay disana. Honestly, ini kondisi ideal u kita riset fasilitas lengkap, dana melimpah disana. Saya mengusulkan begini:

  1. Bagaimana jika rektor dan dosen asing ditempatkan di universitas baru saja atau perguruan tinggi yang butuh “transplantasi”. Jangan di universitas yang tanda kutip established. cukup program WCP dan sejenisnya saja yang diperkuat.
  2. Setelah itu rektor dan dosen asing itu diminta bekerja dengan leluasa dan berkompetisi dengan wajar dengan kami-kami, dan tentuanya berkolaborasi dengan kami juga.
  3. Perguruan tinggi yang ada kebutuhan boleh rekrut mahasiswwa postdoc atau dosen muda asing u memperkuat barisannya
  4. Terus mari kita lihat apakah signifikan tidak hasilnya, baru kita lanjutkan kembali…
  5. kembali ke poin 1, saya atau dosen-dosen muda Indonesia saya yakin juga bersedia jika di minta u jadi rektor atau me-manage perguruan tinggi dengan idealisme tinggi, siapa tahu dosen-dosen muda kita ternyata jauh bisa lebih keren untuk memanage dengan gaya kekinian dan menghasilkan pencapaian yang diinginkan pemerintah saat ini…

Sudah saatnya kita punya paradigma baru melihat isu-isu pro-kontra ini, lompatan pendekatan yang berani, sedikit beresiko tidak apa, dan tetap dengan jatidiri Indonesia…

Mengembangkan Talenta Digital untuk Indonesia

Sunday, July 14th, 2019

Beberapa minggu ini santer dan cukup kencang salah satu program pemerintah dalam upaya mengembangkan kompetensi sumber daya manusia Indonesia dengan kemampuan teknologi Industri 4.0. Kominfo RI kembali mengelar program Digital Talent yang tahun ini lebih massive (baca: programnya lebih bermacam dan jumlah peserta yang lebih banyak). Tentu hal ini sangat bagus bagi Indonesia untuk memiliki talenta-talenta yang sangat dibutuhkan oleh industri dan menyiapkan Indonesia 4.0. Pada program tahun ini, memang saya tidak terlibat secara langsung maupun tidak langsung, meskipun di tahun lalu sempat menjadi “kordinator akademik” bidang Big Data program yang dilaksanakan di UGM. Tahun ini, saya sebatas terlibat dalam memberikan Kuliah Tamu untuk program FGA Machine Learning di UAJY Yogyakarta, adapun materi yang saya sampaikan dapat diakses pada tautan berikut ini.

Saya mencoba memberikan ide atau gagasan dengan memunculkan suatu hipotesa atau pertanyaan “Efektifkah Program Semacam ini untuk Indonesia?”. Pertanyaan ini, didasari dengan begitu masifnya sumber daya tenaga pengajar, lokasi, pendukung, materi, peserta yang dimobilisasi untuk menyelenggarakan program ini. Tentu saja kita berharap mendatangkan manfaat seluas-luasnya minimal bagi peserta maupun nantinya bagi industri, masyarakat dan negara.

Kebetulan saya pernah melihat pola pengembangan sumber daya manusia khususnya bagi talenta-talenta muda bidang teknologi di beberapa negara seperti di Wina – Austria, Upsalla – Swedia, Ho chi minch – Vietname, Singapore dan KL – Malaysia. Pola pengembangan talenta digital dengan model scholarships seperti yang dilakukan di Indonesia secara penamaan dipakai hampir disemua negara tersebut, bedanya sebagai berikut; di Austria, Swedia dan Singapore model scholarship ini di embed-kan dari jenjang Sekolah Menengah Atas/Kejuruan sd Perguruan Tinggi, tidak dikerjakan sebagai program sendiri. Kemudian ada follow up berupa inkubasi sumber daya manusia yang memang diakselerasi menjadi “maker” dan “ahli teknologi”. Sementara di Malaysia dan Vietnam, program sejenis ini berbentuk fasilitas kursus dari negara dengan ikatan tertentu. dari perbandingan ini, menarik untuk di lihat plus dan minusnya. Program pengembangan SDM apapun menurut saya tidak seperti membalikan telapak tangan dan instan jadi, minila ada 2 sisi mata uang yang harus diperhatikan dalam hal ini : ATTITUDES (softskill) dan TECHNICAL (hardskill). Keduanya berbarengan dan tidak terpisah. dan proses membentuk keduanya ini pastinya akan mengkonsumsi waktu yang tidak singkat, bisa 1 semseter, minimal 3 bulan bahkan selayaknya program 1 tahun. Model pengembangan dengan menjejalkan seluruh pengetahuan dalam 1 deret waktu yang singkat dan padat, menurut saya sudah bukan cara yang baik, dan relevan untuk generasi saat ini. Ini hanya cocok jaman saya, ketika model penataran P4, ospek dan sejenisnya.

Dari hal diatas, muncul permasalahan bagaimana program ini didesain? apakah memberikan pengetahuan, kemampuan atau endorsement terhadap produk industri tertentu?. Sudah bukan rahasia lagi, di Indonesia, program-program sejenis ini pasti dibarengi dengan “lock-in”nya industri masuk kedalam ranah materi dan lainnya. Ketika kita tidak mendefinisikan level dari program ini, maka sebenarnya program seperti ini hanya sebatas formalitas, pencarian sertifikat dan mengejar “number” peserta yang bisa dibanggakan. Mungkin program ini terinspirasi dan terpengaruh pola “program magang, program kunjungan singkat, studi banding atau lainnya”. Kelemahan mendasar program dengan pola seperti ini adalah kontinuitas, dan outcomes yang tidak terdefinisi dari awal. Ini seperti membangun pulau diatas laut, nampak dipermukan akan tetapi dibawah permukaan melayang saja….

menurut saya program pengembangan talenta digital boleh didukung oleh industri, mengenalkan produk/tools dan sejenisnya, tapi yang perlu diingat, kita mengembangkan talenta yang seharusnya memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengatasi kebutuhan tertentu diatas tools/produk yang ada. dengan kata lain, bukan menjadioperator toolsnya tapi engineernya. Karena program seperti ini didesain sangat singkat dan padat, dipastikan ketercapaian pembelajaran akan didasarkan pada faktor kuantitatif kehadiran dan lainnya.

Muatan konten/materi juga menjadi perhatian dari saya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa materi-materi yang ada hampir minim sekali yang di produksi oleh pengajar/nara sumber sendiri. Minimal presentas dari pencarian Google, bahkan alat bantu ya…download-an, tapi jika open source masih OK-lah. Dari hal ini menurut saya, problem mendasar kita sebenarnya bukan peserta tapi pemateri/nara sumber ini memang harus menjadi pelaku dari muatan/kontennya, minimal menjadi pengembang atau lainnya. Zaman open source dulu, kita disebut pengiat open source ya kalau pernah kontribusi sesuatu di proyek open source tertentu.

jadi bagaimana baiknya program seperti ini didesain?

  1. Digital Talent, dibuat menjadi minimal 2 pola, yaitu pola yang embed di sistem pendidikan, dan pola yang bersifat followup. Pola yang menyatu di sistem pendidikan, adalah lebih mendasar mendesain kurikulum berbasis Thingking, computational, open minded, dan STEM misalnya. Dari jenjang mana? Singapura merencanakan di level SD, menurut saya Indonesia bisa memasukan di level SMA minimal. Dengan menanam ini di level SMA kita punya waktu banyak untuk menyampaikan materi Industri 4.0 dst, dalam ranah yang lebih mudah dipahami dan dipelajari secara kuat. Sudah tidak dipungkiri, digital talent kita entry age nya bukan lagi setelah lulus kuliah, tapi masuk kuliah. Bagaimana polanya? Di level pendidikan SMA/SMK berikan muatan tematik, yang berbasis pada kemampuan imajinatif siswa, misalnya tentang pemanfaatan coding untuk menyelesaikan suatu permasalahan, teknologi web, teknologi data sampai artificial intelligence, jangan lupa juga memasukkan unsur komputasional thingking dan analysis. Pada jenjang perguruan tinggi, perkuat dengan teori matematis, statistik, algoritma, komputasi, sistem cerdas, intelligent system dan lainnya. Bagaimana setelahnya, ini dinamakan fase inkubasi, mereka diberi cara, fasilitas dan mentor mengembangkan produk yang berorientasi industri dan masyakarat. Inkubasi bersifat inkubasi teknologi dan bisni.
  2. Program seperti ini, lakukan dengan pola exchange daerah. Maksudnya agar terjadi interaksi antar peserta dari latar belakang berbeda. Maksudnya tidak hanya merajut kebhinekaan, tapi membenturkan ide, pendekatan dan cara pandang adalah cara terbaik untuk generasi saat ini menemukan ide dan membangun kolaborasi. Lakukan ini dengan cara modern, e-learning, MOOC, teleconferening dan lainnya…tidak harus bertemu fisik, cukup buat festival atau bootcamp untuk mempertemukan ketika ide mulai terbentuk.
  3. Integrasikan dengan para guru di SMA/SMK, dosen di PTN dan PTS, startup-ers, founders dan existing startup yang sudah run. Jadikan mereka-mereka sebagai narasumber, pemateri dan lainnya. Pastika pengajar adalah orang-orang yang berkompeten secara utuh bukan sekedar punya gelar atau lainnya. Lakukan inkubasi bagi pengajar ini untuk memproduksi konten materi dan lainnya sendiri, karena ini menunjukkan seberapa mampu mereka sebenarnya mengampu.
  4. Follow up dan dukungan. Bagaimanapun talenta-talenta digital ini masih “free” dan membutuhkan langkah tindak lanjut agar optimal. Ini harus disinergikan bukan saja dengan industri tapi juga ada pola pengembangan atua inkubasi bisnis rintisan dari program ini, magang di perusahaan/startup atau memang ada talent pooling untuk melakukan tracer perkembangan talenta-talenta ini setelah keluar dari program ini.
  5. Salah satu referensi baik adalah model inkubasi teknologi dan bisnis yang saat ini berkembang cukup marak baik di Luar negeri dan Indonesia sendiri. yang tidak hanya peduli dengan talent skills tapi menbentuk attitudes dan mengasah problem solving berbasis teknologi.

Tidak mudah memang, tapi perlu paradigma baru untuk melangkah lebih baik dalam mengelola program prestius seperti ini. sekedar sumbang sih ini semoga bisa mendorong perubahan terus menerus kearah yang lebih baik dan bermanfaat.

Digital Landscape : Tranformasi Digital di Industri 4.0

Saturday, September 8th, 2018

Berikut adalah presentasi materi mengenai Digital Landscape yang saya sampaikan pada kelas Lingkungan Bisnis PPAk FEB UGM pada Jumat 6 September 2018. Materi dapat di klik melalui gambar berikut.

Gamada & Disrupsi

Monday, August 13th, 2018

Zonasi, antara pemerataan dan keadilan

Saturday, July 7th, 2018

Hari ini saya mendapat pengalaman lumayan menarik. Niat awal untuk berkunjung ke Kantor Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta untuk mencari informasi beberapa isu tentang sistem PPDB Zonasi untuk SMP di Yogyakarta. Dari luar kantor terlihat sepi, meja informasi kosong dan disambut petugas keamanan yang membuka pintu dan seorang operator/resepsionis. Mengutarakan niat untuk bertemu petugas informasi, tapi diberi informasi belum siap karena masih melakukan rapat kordinasi. Di saat bersamaan ternyata di dalam sudah banyak sekali orang tua murid dengan wajah muram dan penuh harap, mulai berbicara satu sama lain, bercerita keluh kesah terkait permasalahan PPDB.

Seorang Bapak berbicara agak lantang, mengutarakan bagaimana anaknya tidak bisa mendaftar/diterima di sekolah negeri seluruh Jogja gara-gara jarak rumahnya yang tidak dekat sekolah manapun. Seorang Ibu lebih mengiba lagi karena tidak diterima, dengan komparasi yang diterima ternyata jarak rumah fisiknya lebih jauh dari rumah beliau. Kemudian ada lagi, orang tua yang mengeluhkan minimnya informasi tentang pembagian zonasi dan jarak yang hanya mengandalkan web PPDB dan di update di akhir-akhir (last minute). Kategori prestasi yang awalnya untuk siswa-siswa dengan sertifikat prestasi tertentu, di akhir bisa didaftar untuk yang berdasar nilai UN. Ini hanya beberapa yang tadi cukup keras diutarakan.

Kemudian dari permasalahan-permasalahan tersebut, muncul impact yang mungkin bagi Dinas baru disadari, khusus Kota Yogyakarta, terdapat beberapa daerah (kecamatan, kelurahan) yang menjadi wilayah BlankZone, atau daerah yang tidak diterima di SMP manapun hanya karena jarak tadi. Meskipun sistem zonasi ini memang kompetisi jarak terdekat dengan sekolah, saya yakin BlankZone ini baru disadari saat ini. Usaha menunggu pejabat yang berwenang tidak membuahkan hasil. Akhirnya inistaif para orang tua naik keatas menemui pejabat yang ada. Tapi seperti kantor pemerintahan pada umumnya, meja informasi kosong dan jawaban pejabatnya hanya melaksanakan peraturan tanpa penjelasan detail.

Sebagai akademisi saya kok tergugah, dan prihatin. meski mungkin tidak 100% obyektif, karena saya juga menjadi salah satu orang tua yang memiliki kondisi yang sama dengan para orang tua tersebut. Tapi begini, kritik yang ada dibenak saya:
1. Sistem zonasi yang notabene menjalankan peraturan menteri dan lainnya, telah diimplementasikan sangat murni, Saking murninya fokus pada pemerataan, mungkin jargon Pak Menteri sekarang “agar tidak ada sekolah Favorit”. Dan menurut saya tidak berkeadilan. Implementasi ini tidak dibarengi dengan pemetaan anak didik yang mau masuk SMP dan dilihat representasi SMP yang tersedia, sekaligus melihat proposi jarak.
2. Peserta didik yang notabene berjuang mati-matian UN untuk mendapatkan nilai bagus, dirugikan dengan seleksi prestasi yang tidak clear petunjuk dan informasinya, plus pasti akan sulit bersaing dengan jarak di seleksi zonasi.
3. Dinas hanya mengandalkan situs web PPDB dari penyedia layanan untuk mencantumkan semua aturan dan etc, tapi silahkan di cek di yogya.siap-ppdb.com untuk ukuran event besar seperti ini bahkan teknik penulisan aturan main dll-nya tidak tergarap dengan baik. ada fasilitas tanya jawab, tapi dugaan saya hanya dioperatori petugas penjaga social media dengan jawaban standar. Bahkan mungkin keluh kesah disanapun tidak terfasilitasi dengan baik ke pimpinannya
4. Terdapat perbedaan penentuan standar jarak di aturan dengan aturan by sistem. Ini sempat menimbulkan keramaian di hari pendaftaran, meski kemudian bisa terupdate.

Analisis saya akan ada beberapa akibat panjang dari ini:
1. Distribusi siswa yang ke SMP Negeri hanya berdasar banyak tidak akan punya kontribusi terhadap pengurangan kemacetan dan sejenisnya (karena hanya akan memindah sebagian orang ke bentuk dan wilayah lain). Plus juga tidak akan menghilangkan sekolah favorit dan tidak, hanya menunggu waktu saja sekolah yang kelimpahan siswa dengan akademik baik (misal swasta) akan menjadi sekolah favorit dalam bentuk dan waktu lain…sudah ada contoh di kota lain.
2. Sekolah akan mendapat limpahan siswa sesuai kuota, tapi profil siswa akan sangat random baik secara prestasi akademik, hanya jarak yang homogen. Guru akan punya PR akan sangat banyak u menstandarkan siswa yang luar biasa random profilenya, belum pekerjaan administrasi seabrek lainnya.
3. Ada pihak (bukan konotatif ya) akan mendapatkan keuntungan, sekolah swasta (yang biayanya mandiri) akan mendapat limpahan karena bagaimanapun siswa yang tidak bisa diterima di zonasi akan berpindah kesini. Ya terpaksa orang tua akan memasukan ke sekolah swasta yang baik, tidak peduli dengan jarak juga, Dan tahukan bahwa siswa yang diterima di zonasi hanya separo dari keseluruhan siswa yang masukSMP di Jogja. dan ini akan hanya bergeser saja perpindahan dan mobilisasinya.

Terus bagaimana selanjutnya, karena jawaban standarnya melaksanakan peraturan, meskipun sedih mlihatnya, ketika Presiden kita mendengungkan perubahan, disruptive dan berkeadilan, pola di bawah seperti ini masih model lama. Tapi oke, lets move on, saya mengusulkan seperti ini.

1. Untuk sosialisasi, sudah saatnya intensif menggunakan media sosial, web yang representatif, call center, crisis center, mitigation dan lainnya disiapkan untuk hal-hal seperti ini.
2. Pelaksanaan peraturan seharusnya meniru daerah lain. Beberapa daerah berani (baca: disruptive) dengan mengkombinasikan antara jarak dan batas minimal nilai misalnya, bahkan ada yang berani u menambah daya tampung u memenuhi aspek keadilan jarak dan wilayah.
3. Proses penentuan jarak, wilayah zonasi dan prosedur detail lainnya lebih jauh disampaikan ke sekolah, orang tua siswa. Katanya sudah era e-government yang melayani, mestinya informasi diberikan secara aktif oleh pemerintah, bukan hanya disuruh lihat di web dan sejenisnya.
4. Memperhatikan Blankzone, dan impact lainnya yang akan ini sangat merugikan wilayah-wilayah yang seperti ini, khusus Kota Jogja, analisis data science yang saya lakukan (kalau mau data detail bisa japri), kelurahan warungboto sd Taman siswa dan di pinggir batas kota Jogja menjadi wilayah yang sangat dirugikan. LIhat di web PPDB atau koran hari ini, siswa yang diterima di SMP N hanya berjarak 0 sd 2sekian km. Kota Jogja sendiri luasnya itu atau sumbu lingkarannya itu lebih dari 10 km (pengalaman kalau segosegawe dr kotagede ke UGM).

Terlepas semua itu, tampaknya PPDB sudah selesai, Jogja memang terlalu nyaman untuk hal-hal yang disruptive dan aspiratif sekarang (meski saya masih yakin Yogya bagus u hal-hal kreatif). Saya menulis ini, sekaligus sebagai “pertanggungjawaban publik” karena niat pagi tadi hanya mencari informasi berubah menjadi corong para orang tua yang mencari informasi lebih pasti. Tiba-tiba ditepuk untuk menjadi juru bicara u diskusi dengan entah siapa pejabatnya. Terimakasih untuk Kumparan yang juga memberikan liputan tentang hal ini, semoga ada dorongan untuk diperhatikan oleh stakeholder di Jogja. Terjadi tahun ini, bisa terjadi tahun berikutnya jika tidak ada perubahan.

Sebagai pribadi, saya akan sangat senang dan free untuk berdiskusi dan “speak with data” terutama untuk Dinas jika memang ingin ada perbaikan. Sebaga ortu, kami sudah move on kok, anak-anak kami sudah mulai kami titipkan ke sekolah yang menurut kami baik, semoga kami dan anak-anak kami bisa nanti menjadi pembaharu untuk Jogja yang tidak hanya nyaman tapi juga Baik.

Terlepas dari semua hiruk pikuk, mari tetap berfikir positif, dan move-on saja…dunia tidak berhenti di krn hal ini, semangat carikan solusi masih ada swasta yang baik, luar negeri dan lainnya….

Link liputan dr kumparan : https://m.kumparan.com/…/protes-orang-tua-di-yogyakarta-soa…

Bagian terbaik menjadi ilmuwan

Wednesday, December 6th, 2017