5 Faktor yang potensial menjadi kendala Kampus Merdeka

Hari-hari ini semua kampus, gegap gempita menyambut program Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Pemerintah melalui Kementerian, dan melalui Dirjen DIKTI juga tidak kalah masif mensosialisasikan dan melakukan penetrasi program-program yang bisa mensukseskan kegiatan ini. Saya sangat mengapresiasi gerak dan langkah Kementerian ini dan cukup berbeda dengan masa-masa lalu yang terkesan dengan model administratif berkirim surat ke Universitas, dan surat ditembuskan ke semua pihak. Kali ini pendekatan masif dan public cukup banyak dilakukan. Transparansi program menjadi terbuka dan semua pihak bisa mengetahu informasi secara equal dan terbuka.

Semua program yang diusung era Menteri di periode manapun sejatinya baik, meski ada juga kebijakan yang aneh dan kontra produktif di masa tertentu. Sebagai sebuah program maka baik berbentuk kebijakan sampai dengan kegiatan implementasi selayaknya aliran hulu ke hilir maka faktor-faktor yang menyulut keberhasilan dan kegagalan pasti ada. Tinggal, bagaimana Kementerian mau melihat dan membenahi di sektor Hulu dan Hilir. Hulu tentu saja di Kementerian, perubahan kebijakan, arah implementasi, keberpihakan pada kemerdekaan belajar, dan selanjutnya tentu tidak diragukan. Tetapi Program di Hulu tanpa melihat kondisi riel di Hilir bisa menjadi bencana sebenarnya. Layaknya kita membendung aliran air dengan membangun waduk di Hulu, tapi tidak menghitung bagaimana aliran air ke hilir plus geografisnya, tentu bukannya bisa mensupplay air yang cukup, bisa jadi malah menyebabkan kekeringan atau bencana lainnya.

Sebagai orang yang di Hilir, dosen dan peneliti, layaknya petani yang mengarap lahan pertanian di pinggiran ladang sawah besar seluas Universitas di Bulaksumur ini, maka saya ingin menyumbangkan sudut pandang saya tentang kondisi di hilir saat ini. Tujuannya untuk memantik perubahan yang tentunya ke arah lebih baik, untuk sama-sama mau berubah dan melakukan perubahan mendasar dari pendekatan yang kita lakukan. Hilir yang saya maksud sangat basic, di lingkungan program studi yang mengurus perkuliahan, mahasiswa, kurikulum dan seputarnya. Juga di Lab Riset yang dibebankan banyak sekali Mandat Capaian Kinerja yang kadang takjub ide datangnya dari mana, dan kemudian kita ditagih hasilnya tanpa ada proses yang dikelola atau disupport.

Saya mengidentifikasi ada 5 potensi faktor yang akan menjadi kendala:

  1. Mindset. Ketika Kampus Merdeka dipadang oleh para petani di hilir hanya sebatas program dari Pak Menteri, Pak Dirjen, Pak Rektor, dan lainnya maka ini adalah kegagalan mendasarnya. Harus dipahami tidak semua petani punya pikiran yang sama. Minimal ada yang akan merespon kebijakan ini sebagai berikut “Yah…ini kan hanya program 5 tahunan”, atau “Program kementerian untuk menghabiskan anggaran”, “ini kan karena menterinya ….bla bla”, tapi juga ada lho yang seperti ini “Hmm..program seperti ini sudah lama dinantikan, bahkan diinisiasi sembunyi-sembunyi sebelumnya, karena klo kita buat biasanya di semprit prodi, departemen dan lainnya”. Nah jika situasinya seperti ini, maka saran saya, mau tidak mau pendekatan dan sosialisasi program ini tidak bisa ala kadarnya dengan mengencarkan social media, youtube etc. Tapi jadikan para petani di hilir ini agent of change untuk program ini, jadikan champion-championnya. Caranya, angkat dosen-dosen yang berani melakukan perubahan dan punya radikal pendidikan mindset dijadikan contoh-contoh terbaik, berikan pengakuan kerja-kerja keras yang telah mereka inisiasi.
  2. Kampus, Fakultas, Departemen, Prodi merasa dirinya seperti kecamanat, Kabupaten, Provinsi, dan kementerian yang punya otoritas tersendiri dan struktur birokrasi ketat. Sebenarnya saya ingin garis bawahi lebih ke Birokrasi yang tidak mau berubah. Kampus Merdeka bisa berhasil dan jalan kencang kalau terjadi kemerdekaan di level birokrasi. Saya paham untuk mengajar matakuliah dosen ada syaratnya, pembagian matakuliah masih kental berdasar prodi nya, bahkan berdasar bisanya dosen, naik pangkat jauh lebih susah ngumpulkan syarat daripada publikasi misalnya, semua kegiatan yang dikerjakan harus ada SKnya, dan seterusnya. intinya semuanya harus resmi dan resmi. kalau seperti ini, jika tidak saya lupa tentang teori organisasi, maka organisasi yang resmi dan resmi ini sebenarnya dis-trust dengan anak buahnya. Kemerdekaan birokrasi ini jadi penting, selama seperti labirin kusut, maka kampus merdeka akan jatuhnya jadi program seperti biasanya.
  3. Kampus Merdeka saya ibaratkan seperti Pak Menteri menyiapkan model kendaraan yang efisien, efektif, dan bisa melaju cepat. Mungkin seperti mobil formula E. Sayangnya driver-drivernya ini masih berfikiran mengemudikan mobil biasa atau mobil sejuta umat lah. Makanya tidak heran implementasi di perkuliahan sebenarnya ya sama saja, riset juga mengalir apa adanya, pengabdian ya kalau bisa dikerjakan, dan seterusnya. Orientasinya yang penting materi sampai, mahasiswa sudah besar-besar jadi dan bisa jadi pinter sendiri. Nah, ini adalah problem sangat besar. Dosen tidak punya kemampuan berkreasi bahasa saya bahkan u matakuliah yang diajarnya sendiri, penelitian hanya pakai penelitian mahasiswanya saja, pengabdian ya kalau diundang Pemda dan lainnya. Kembali jadi Agent of Change, maka dosen dan orang kampus harus jadi orang pertama yang mau berubah. Matakuliah ya di “masak” sendiri dengan pengalaman risetnya, penyelesaian masalah di luar, baca buku, dan lainnya. Dosen harus diubah menjadi Creator Content edukasi dan pembelajar, Creator Inovasi bukan penulis publikasi saja, Creator Solusi di kegiatan pengabdian maasyarakat. Dan jadikan impact sebagai alasan/bukti yang bersangkutan naik pangkat.
  4. Jadikan mahasiswa sebagai Obyek. Kampus Merdeka menurut pemikiran saya inginnya membebaskan mahasiswa sebagai individu yang bisa mengidentifikasi dan menentukan masa depannya dengan kemampuan teknis dan non teknis yang didapatkan selama di bangku perkuliahan. Cuma masalahnya, hal ini hanya akan terjadi di level kampus, kampus merdeka belum jadi pipeline utuh dr pendidikan dasar. jargaon problem based learning, case based learning, dan XXX based learning lainnya ya hanya pemanis. Saya mengusulkan sudah jadikan contex based learning, maksudnya mahasiswa diajak memahami kontek permasalahan, kontes keilmuan dan konteks peran dirinya dalam mengembangkan dirinya menjadi solusi di masyarakat (industri, pemerintah, dan komunitas).
  5. Kampus Merdeka harusnya dijadikan milestone bukan capaian. Pertanyaannya whats next setelah kampus merdeka? ini problem klasik dan terus menerus terjadi, kita hanya membuat program dalam ukuran master plan waktu. Kenapa tidak long-life learning output. Saya mengusulkan bukan kampus merdeka yang jadi tujuan tapi Self-drive learning. Menjadikan dan mencetak anak-anak didik kita itu punya kemampuan survival untuk belajar sendiri, mencari sumber belajar dan mengkreasi pengetahuan. Sudah lama menantikan Indonesia menjadi negara yang memproduksi pengetahuan lebih masif, bukan konten youtube saja.

Poin-poin diatas adalah buah pikir saya untuk mengkritisi lingkungan kami sendiri, dan sekaligus untuk memantik diri saya sendiri untuk selalu terdepan dengan perubahan sekecil apapun, dengan contoh nyata dan pengorbanan sendiri.