Pro dan Kontra dari Perguruan Tinggi, Rektor dan Dosen Asing

Saya pikir sudah cukup lama sudah ada semacam perdebatan dan perbedaan sudut pandang adanya ide, wacana, usulan dan sejenisnya dari berdirinya perguruan tinggi, kemudian Rektor dan dosen asing untuk ditanam dan berkarya di Indonesia. Bagaimana sebaiknya memandang dan menimbangnya?

Tanpa mengalihkan bahwa pasti ada pertimbangan serius sampai ada ide dan wacana ini, yang menurut saya ada beberapa hal yang mengusik: (1) masih rendahnya posisi-posisi perguruan tinggi di Indonesia pada level global, (2) kurang kompetitifnya publikasi atau hasil pemikiran yang dihasilkan dosen dan perguruan tinggi dari jumlah sitasi dan lainnya, (3) masih seretnya daya serap lulusan perguruan tinggi pada dunia kerja. Tapi ini baru aspek alasan formal, mungkin juga ada alasan informasi misalnya (1) gensi besar kita sebagai bangsa Indonesia yang mulai tersalip beberapa impresifnya univ-univ negara tetangga yang masuk jajaran top sekian dunia, (2) perguruan tinggi di Indonesia yang masih bertahan dengan gaya “old fashion” nya (baca: masih selfish dengan areanya sendiri, minim kolaborasi dan terbuka, dan senioritas yang mengakar sangat kuat), (3) tercampur aduknya urusan penelitian dan pengabdian masyarakat dengan hal-hal yang sangat administratif sampai terancam pajak yang siginifikan.

Saya melihat minimal ada 4 pihak yang terlibat dalam situasi ini yaitu pemerintah (dalam hal ini kemenristek DIKTI), perguruan tinggi, masyarakat dan industri. Pemerintah tampaknya kurang konsisten melihat posisi perguruan tinggi, inginnya semuanya “hangabehi”, pokoknya tempat mencetak lulusan keren, penelitian bagus, mendatangkan uang, ditarik pajak seperti perusahaan, dan disalahkan jika tidak mencipkan masyarakat yang baik. Kemudian Pemerintah membuat aturan main yang bermacam dan berubah, untuk urusan kenaikan pangkat, dan urusan-urusan formal lainnya. Tata kelola universitas berubah menjadi administrative centris yang akhirnya memposisikan dosen pada posisi supporting saat ini (baca : apa-apa diusahakan sendiri…dari administrasi sd teknis, bahkan terkadang nyapu lab riset dan sejenisnya…). Perguruan tinggi kita juga jadi takut bermimpi besar mengembangkan keilmuan dan riset yang futuristik semacam di lembaga-lembaga riset dunia. yang penting ada penelitian dan kegiatan tri dharma sudah cukup.

Masyarakat juga menganggap perguruan tinggi hanya sisi prestige untuk mengkuliahkan putra putrinya saja, harapannya lulus kuliah dan dapat kerja yang baik…tidak salah. Tapi sejatinya seperti level pendidikan lainnya, perguruan tinggi ini kawah candradimuka menempa nasionalisme, kemandirian, survival, attitiude anak besar untuk maju tak gentar di dunia kerja yang liar. Finally kecenderungan orang tua mulai berlaku seperti mengurusi sekolah anaknya sangat terasa…dari mengatur sks dan matkul yang mau diambil….(serius ini terjadi benar).

Perguruan tinggi kita juga tampaknya gitu-gitu saja, yang bernama besar menikmati kenyamanan nama besarntya, dan yang lain berubah mengikuti hukum pasar untuk menaikan jumlah mahasiswa. Tidak salah sebenarnya, tapi perguruan tinggi yang menjadi organisasi yang membuka cakrawala baru, menumbuhkan budaya pendidikan tinggi dan menjadi inspirasi msayarakat menjadi tidak terasa. serasa menjadi menara gading yang indah di lihat tapi tidak terasa…

Industri juga sudah skeptis saya pikir dengan perguruan tinggi, dilihat hanya sebagai sumber talent atau tenaga kerja semata. menyalahkan perguruan tinggi jika tidak ada yang mau melamar di perusahaanya dan cuci tangan jika ada sesuatu setelahnya. Gap materi dan kompetensi ya hanya jadi jargon untuk seminar, sampai sekarang usaha menjembatani atau menyempitkan gap ya hanya lipsing saja…

Jadi bagaimana kedepan melihat situasi ini, saya coba mengusulkan terbuka (entah dibaca pihak yang berwenang atau tidak,…)

  1. Struktur pendidikan kita ini tampaknya perlu di lompatkan beberapa tahun kedepan. Maksudnya sudah saatnya kita melihat pola penjejangan kita ternyata tidak kontinue…seperti anak tangga yang terlepas satu sama lain. Solusinya, semua level pendidikan duduk bersama dan menyusun tangga pendidikan yang menuju puncak. Bagaimana jika kita adaptasi pendekatan integrated curriculum. Kita cukup menyepakati adanya dua track jalur akademis/scientist atau vokasional. dari awal sudah harus jelas track dan akan jadi di masa depan.
  2. Sistem zonasi pure nya bagus menurut saya, tinggal implementation strategy-nya. zonasi yang dimaksud menurut saya bukan based on jarak atau nilai ujian nya. Bagaimana jika zonasi berbasis kompetensi berjenjang. Kita buat kluster berbasis pulau (karena kita negara kepulauan). ada kluster sumatra, jawa, kalimantan, sulawesi, papua, bali dan nusa tenggara. setiap kluster punya jenjang lengkap, TK, SD, SMP, SMA/SMK dan perguruan tinggi baik u jalur scientist dan vokasional. Buat model pertukaran guru, dosen untuk saling berbagi kemampuan dan keahlian dalam waktu tertentu , yg tidak panjang tapi cukup u proses transfer knowledge.
  3. Set paradigma pendidikan ke arah masa depan. Kita perlu menyepakati arah atau future poin pendidikan kita kemana…let say berbasis agama (pesantren), kewirausahaan, ilmuan, services atau industrial. Saya pikir kita sudah cukup di beberapa line ini, tapi belum diperkuat dengan sangat. saya membayangkan, kalau pesantren di kombinasi dengan TIK, kita sudah punya environment inkubasi dedicated yang luar biasa.

kalau asumsinya 3 hal diatas, masih butuhkah rektor dan dosen asing. sebenarnya hal ini wajar saya, kita-kita dosen di Indonesia yang kadang dilihat sebelah mata oleh universitas, malah sering dapat tawaran dari profesorship atau research program berkedok postdoc untuk stay disana. Honestly, ini kondisi ideal u kita riset fasilitas lengkap, dana melimpah disana. Saya mengusulkan begini:

  1. Bagaimana jika rektor dan dosen asing ditempatkan di universitas baru saja atau perguruan tinggi yang butuh “transplantasi”. Jangan di universitas yang tanda kutip established. cukup program WCP dan sejenisnya saja yang diperkuat.
  2. Setelah itu rektor dan dosen asing itu diminta bekerja dengan leluasa dan berkompetisi dengan wajar dengan kami-kami, dan tentuanya berkolaborasi dengan kami juga.
  3. Perguruan tinggi yang ada kebutuhan boleh rekrut mahasiswwa postdoc atau dosen muda asing u memperkuat barisannya
  4. Terus mari kita lihat apakah signifikan tidak hasilnya, baru kita lanjutkan kembali…
  5. kembali ke poin 1, saya atau dosen-dosen muda Indonesia saya yakin juga bersedia jika di minta u jadi rektor atau me-manage perguruan tinggi dengan idealisme tinggi, siapa tahu dosen-dosen muda kita ternyata jauh bisa lebih keren untuk memanage dengan gaya kekinian dan menghasilkan pencapaian yang diinginkan pemerintah saat ini…

Sudah saatnya kita punya paradigma baru melihat isu-isu pro-kontra ini, lompatan pendekatan yang berani, sedikit beresiko tidak apa, dan tetap dengan jatidiri Indonesia…