Mengembangkan Talenta Digital untuk Indonesia

Beberapa minggu ini santer dan cukup kencang salah satu program pemerintah dalam upaya mengembangkan kompetensi sumber daya manusia Indonesia dengan kemampuan teknologi Industri 4.0. Kominfo RI kembali mengelar program Digital Talent yang tahun ini lebih massive (baca: programnya lebih bermacam dan jumlah peserta yang lebih banyak). Tentu hal ini sangat bagus bagi Indonesia untuk memiliki talenta-talenta yang sangat dibutuhkan oleh industri dan menyiapkan Indonesia 4.0. Pada program tahun ini, memang saya tidak terlibat secara langsung maupun tidak langsung, meskipun di tahun lalu sempat menjadi “kordinator akademik” bidang Big Data program yang dilaksanakan di UGM. Tahun ini, saya sebatas terlibat dalam memberikan Kuliah Tamu untuk program FGA Machine Learning di UAJY Yogyakarta, adapun materi yang saya sampaikan dapat diakses pada tautan berikut ini.

Saya mencoba memberikan ide atau gagasan dengan memunculkan suatu hipotesa atau pertanyaan “Efektifkah Program Semacam ini untuk Indonesia?”. Pertanyaan ini, didasari dengan begitu masifnya sumber daya tenaga pengajar, lokasi, pendukung, materi, peserta yang dimobilisasi untuk menyelenggarakan program ini. Tentu saja kita berharap mendatangkan manfaat seluas-luasnya minimal bagi peserta maupun nantinya bagi industri, masyarakat dan negara.

Kebetulan saya pernah melihat pola pengembangan sumber daya manusia khususnya bagi talenta-talenta muda bidang teknologi di beberapa negara seperti di Wina – Austria, Upsalla – Swedia, Ho chi minch – Vietname, Singapore dan KL – Malaysia. Pola pengembangan talenta digital dengan model scholarships seperti yang dilakukan di Indonesia secara penamaan dipakai hampir disemua negara tersebut, bedanya sebagai berikut; di Austria, Swedia dan Singapore model scholarship ini di embed-kan dari jenjang Sekolah Menengah Atas/Kejuruan sd Perguruan Tinggi, tidak dikerjakan sebagai program sendiri. Kemudian ada follow up berupa inkubasi sumber daya manusia yang memang diakselerasi menjadi “maker” dan “ahli teknologi”. Sementara di Malaysia dan Vietnam, program sejenis ini berbentuk fasilitas kursus dari negara dengan ikatan tertentu. dari perbandingan ini, menarik untuk di lihat plus dan minusnya. Program pengembangan SDM apapun menurut saya tidak seperti membalikan telapak tangan dan instan jadi, minila ada 2 sisi mata uang yang harus diperhatikan dalam hal ini : ATTITUDES (softskill) dan TECHNICAL (hardskill). Keduanya berbarengan dan tidak terpisah. dan proses membentuk keduanya ini pastinya akan mengkonsumsi waktu yang tidak singkat, bisa 1 semseter, minimal 3 bulan bahkan selayaknya program 1 tahun. Model pengembangan dengan menjejalkan seluruh pengetahuan dalam 1 deret waktu yang singkat dan padat, menurut saya sudah bukan cara yang baik, dan relevan untuk generasi saat ini. Ini hanya cocok jaman saya, ketika model penataran P4, ospek dan sejenisnya.

Dari hal diatas, muncul permasalahan bagaimana program ini didesain? apakah memberikan pengetahuan, kemampuan atau endorsement terhadap produk industri tertentu?. Sudah bukan rahasia lagi, di Indonesia, program-program sejenis ini pasti dibarengi dengan “lock-in”nya industri masuk kedalam ranah materi dan lainnya. Ketika kita tidak mendefinisikan level dari program ini, maka sebenarnya program seperti ini hanya sebatas formalitas, pencarian sertifikat dan mengejar “number” peserta yang bisa dibanggakan. Mungkin program ini terinspirasi dan terpengaruh pola “program magang, program kunjungan singkat, studi banding atau lainnya”. Kelemahan mendasar program dengan pola seperti ini adalah kontinuitas, dan outcomes yang tidak terdefinisi dari awal. Ini seperti membangun pulau diatas laut, nampak dipermukan akan tetapi dibawah permukaan melayang saja….

menurut saya program pengembangan talenta digital boleh didukung oleh industri, mengenalkan produk/tools dan sejenisnya, tapi yang perlu diingat, kita mengembangkan talenta yang seharusnya memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengatasi kebutuhan tertentu diatas tools/produk yang ada. dengan kata lain, bukan menjadioperator toolsnya tapi engineernya. Karena program seperti ini didesain sangat singkat dan padat, dipastikan ketercapaian pembelajaran akan didasarkan pada faktor kuantitatif kehadiran dan lainnya.

Muatan konten/materi juga menjadi perhatian dari saya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa materi-materi yang ada hampir minim sekali yang di produksi oleh pengajar/nara sumber sendiri. Minimal presentas dari pencarian Google, bahkan alat bantu ya…download-an, tapi jika open source masih OK-lah. Dari hal ini menurut saya, problem mendasar kita sebenarnya bukan peserta tapi pemateri/nara sumber ini memang harus menjadi pelaku dari muatan/kontennya, minimal menjadi pengembang atau lainnya. Zaman open source dulu, kita disebut pengiat open source ya kalau pernah kontribusi sesuatu di proyek open source tertentu.

jadi bagaimana baiknya program seperti ini didesain?

  1. Digital Talent, dibuat menjadi minimal 2 pola, yaitu pola yang embed di sistem pendidikan, dan pola yang bersifat followup. Pola yang menyatu di sistem pendidikan, adalah lebih mendasar mendesain kurikulum berbasis Thingking, computational, open minded, dan STEM misalnya. Dari jenjang mana? Singapura merencanakan di level SD, menurut saya Indonesia bisa memasukan di level SMA minimal. Dengan menanam ini di level SMA kita punya waktu banyak untuk menyampaikan materi Industri 4.0 dst, dalam ranah yang lebih mudah dipahami dan dipelajari secara kuat. Sudah tidak dipungkiri, digital talent kita entry age nya bukan lagi setelah lulus kuliah, tapi masuk kuliah. Bagaimana polanya? Di level pendidikan SMA/SMK berikan muatan tematik, yang berbasis pada kemampuan imajinatif siswa, misalnya tentang pemanfaatan coding untuk menyelesaikan suatu permasalahan, teknologi web, teknologi data sampai artificial intelligence, jangan lupa juga memasukkan unsur komputasional thingking dan analysis. Pada jenjang perguruan tinggi, perkuat dengan teori matematis, statistik, algoritma, komputasi, sistem cerdas, intelligent system dan lainnya. Bagaimana setelahnya, ini dinamakan fase inkubasi, mereka diberi cara, fasilitas dan mentor mengembangkan produk yang berorientasi industri dan masyakarat. Inkubasi bersifat inkubasi teknologi dan bisni.
  2. Program seperti ini, lakukan dengan pola exchange daerah. Maksudnya agar terjadi interaksi antar peserta dari latar belakang berbeda. Maksudnya tidak hanya merajut kebhinekaan, tapi membenturkan ide, pendekatan dan cara pandang adalah cara terbaik untuk generasi saat ini menemukan ide dan membangun kolaborasi. Lakukan ini dengan cara modern, e-learning, MOOC, teleconferening dan lainnya…tidak harus bertemu fisik, cukup buat festival atau bootcamp untuk mempertemukan ketika ide mulai terbentuk.
  3. Integrasikan dengan para guru di SMA/SMK, dosen di PTN dan PTS, startup-ers, founders dan existing startup yang sudah run. Jadikan mereka-mereka sebagai narasumber, pemateri dan lainnya. Pastika pengajar adalah orang-orang yang berkompeten secara utuh bukan sekedar punya gelar atau lainnya. Lakukan inkubasi bagi pengajar ini untuk memproduksi konten materi dan lainnya sendiri, karena ini menunjukkan seberapa mampu mereka sebenarnya mengampu.
  4. Follow up dan dukungan. Bagaimanapun talenta-talenta digital ini masih “free” dan membutuhkan langkah tindak lanjut agar optimal. Ini harus disinergikan bukan saja dengan industri tapi juga ada pola pengembangan atua inkubasi bisnis rintisan dari program ini, magang di perusahaan/startup atau memang ada talent pooling untuk melakukan tracer perkembangan talenta-talenta ini setelah keluar dari program ini.
  5. Salah satu referensi baik adalah model inkubasi teknologi dan bisnis yang saat ini berkembang cukup marak baik di Luar negeri dan Indonesia sendiri. yang tidak hanya peduli dengan talent skills tapi menbentuk attitudes dan mengasah problem solving berbasis teknologi.

Tidak mudah memang, tapi perlu paradigma baru untuk melangkah lebih baik dalam mengelola program prestius seperti ini. sekedar sumbang sih ini semoga bisa mendorong perubahan terus menerus kearah yang lebih baik dan bermanfaat.